![]() |
Banyak anak muda tidak mengetahui apa itu partai politik dan pemilu. |
JAKARTA - Pemilih pemula di Indonesia kerap kali mengabaikan hak pilih mereka dan menjadi apatis dengan kondisi politik di negara tersebut. Maka, untuk menghindari kejadian tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) gencar melakukan sosialiasi terkait pemilu pada April 2014.
Sayang, pemilih pemula dari lima kabupaten/kota di Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) justru memperoleh informasi tentang pemilu lebih banyak dari media massa. Sementara itu, informasi dari sosialisasi KPU jauh lebih sedikit yang sampai ke anak muda.
Hal ini merupakan salah satu hasil riset yang dilakukan oleh YouSure Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Hasil riset tersebut dipaparkan dalam Talkshow Dinamika Pemilih Pemula: Persoalan, Peluang, dan Tantangan.
Menurut salah satu peneliti YouSure Desintha Dwi Asriani, penelitian tersebut dilakukan terhadap 500 siswa SMA di DIY pada Februari lalu. "Dari media massa sebanyak 37 persen, sekolah 12 persen, KPU dan aparat desa sembilan persen. Jadi media massa menjadi aktor penting dalam sosialisasi pemilu," tutur Desintha, seperti disitat dari laman UGM, Kamis (13/3/2014).
Meskipun media massa menjadi salah satu aktor penting dalam sosialisasi pemilu, hal ini menimbulkan persoalan pada orientasi pemilih pemula dalam memilih. Desintha menilai, media massa membentuk opini publik sehingga pemilih pemula cenderung memilih berdasarkan iklan politik dan bukan rekam jejak calon.
"Jika tidak hati-hati memang orientasi pemilih pemula akan digiring pada salah satu peserta pemilu sehingga menjadi kerugian besar," jelasnya.
Dari penelitian tersebut juga terungkap, 60 persen pemilih pemula itu belum pernah memperoleh sosialisasi pemilu 2014. Selain itu, 65 persen pemilih pemula menyatakan tidak mengetahui jumlah parpol peserta pemilu.
Sementara itu, anggota KPU DIY yang hadir yakni, Farid Bambang Siswantoro mengaku prihatin dengan hasil riset tersebut. Namun, dia mengaku, selama ini KPU DIY terkendala ketika akan melakukan sosialisasi pemilu di SMA.
"Relawan demokrasi banyak menawarkan sosialisasi di SMA tetapi banyak yang ditolak. Ya mungkin baru fokus persiapan ujian nasional (UN) atau takut terpolitisasi," papar Farid.
Dia menjelaskan, hadirnya relawan demokrasi antara lain melakukan sosialisasi pemilu kepada lima segmen pemilih. Mereka adalah pemilih pemula, difabel, perempuan, kaum marjinal, dan keagamaan.
Di tempat sama, Dosen Jurusan Politik Pemerintahan Fisipol UGM Amalinda Savirani mengungkap, persoalan pemilu bukan semata-mata persoalan kaum tua tetapi juga generasi muda pemilih pemula yang sama-sama memiliki hak pilih. Amalinda melihat selama ini sistem demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya ramah dengan pemilih.
"Generasi muda jangan hanya jadi obyek pemilu saja. Selain itu hal-hal yang teknis jangan dibiarkan karena bisa saja golongan putih (golput) itu terjadi karena faktor tidak sengaja," tegas Amalinda.
Sayang, pemilih pemula dari lima kabupaten/kota di Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) justru memperoleh informasi tentang pemilu lebih banyak dari media massa. Sementara itu, informasi dari sosialisasi KPU jauh lebih sedikit yang sampai ke anak muda.
Hal ini merupakan salah satu hasil riset yang dilakukan oleh YouSure Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Hasil riset tersebut dipaparkan dalam Talkshow Dinamika Pemilih Pemula: Persoalan, Peluang, dan Tantangan.
Menurut salah satu peneliti YouSure Desintha Dwi Asriani, penelitian tersebut dilakukan terhadap 500 siswa SMA di DIY pada Februari lalu. "Dari media massa sebanyak 37 persen, sekolah 12 persen, KPU dan aparat desa sembilan persen. Jadi media massa menjadi aktor penting dalam sosialisasi pemilu," tutur Desintha, seperti disitat dari laman UGM, Kamis (13/3/2014).
Meskipun media massa menjadi salah satu aktor penting dalam sosialisasi pemilu, hal ini menimbulkan persoalan pada orientasi pemilih pemula dalam memilih. Desintha menilai, media massa membentuk opini publik sehingga pemilih pemula cenderung memilih berdasarkan iklan politik dan bukan rekam jejak calon.
"Jika tidak hati-hati memang orientasi pemilih pemula akan digiring pada salah satu peserta pemilu sehingga menjadi kerugian besar," jelasnya.
Dari penelitian tersebut juga terungkap, 60 persen pemilih pemula itu belum pernah memperoleh sosialisasi pemilu 2014. Selain itu, 65 persen pemilih pemula menyatakan tidak mengetahui jumlah parpol peserta pemilu.
Sementara itu, anggota KPU DIY yang hadir yakni, Farid Bambang Siswantoro mengaku prihatin dengan hasil riset tersebut. Namun, dia mengaku, selama ini KPU DIY terkendala ketika akan melakukan sosialisasi pemilu di SMA.
"Relawan demokrasi banyak menawarkan sosialisasi di SMA tetapi banyak yang ditolak. Ya mungkin baru fokus persiapan ujian nasional (UN) atau takut terpolitisasi," papar Farid.
Dia menjelaskan, hadirnya relawan demokrasi antara lain melakukan sosialisasi pemilu kepada lima segmen pemilih. Mereka adalah pemilih pemula, difabel, perempuan, kaum marjinal, dan keagamaan.
Di tempat sama, Dosen Jurusan Politik Pemerintahan Fisipol UGM Amalinda Savirani mengungkap, persoalan pemilu bukan semata-mata persoalan kaum tua tetapi juga generasi muda pemilih pemula yang sama-sama memiliki hak pilih. Amalinda melihat selama ini sistem demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya ramah dengan pemilih.
"Generasi muda jangan hanya jadi obyek pemilu saja. Selain itu hal-hal yang teknis jangan dibiarkan karena bisa saja golongan putih (golput) itu terjadi karena faktor tidak sengaja," tegas Amalinda.
0 komentar :
Post a Comment